Realita Kehidupan Rakyat Jelata



Masih lekat dalam ingatan kita kisah para penambang belerang dari Kawah Ijen dan para pemburu kayu bakar dari sebuah desa kecil nun jauh di Jawa Tengah sana, kali ini kita belajar memaknai hidup dari seorang lelaki bernama Harso, 38th, seorang pemulung asal Solo, Jawa Tengah. 20 Km ia kayuh sepedanya setiap hari tanpa mengenal lelah menuju Sukoharjo guna mengumpulkan barang bekas sisa limbah rumah tangga. Ia menyadari bahwa hidupnya sulit, tapi Ia ikhlas menerima, bahagia dan bersyukur atas kekurangannya itu.

Untuk merefresh kembali bagaimana mereka berjuang agar tetap eksis di bumi tempat mereka berpijak, berikut saya paparkan kembali realita kehidupan mereka.

Kepulan asap tebal membubung tinggi, bau belerang begitu menyengat rongga-rongga hidung. Itulah kondisi alam sehari-hari Kawah Ijen di Jawa Timur. Terlihat orang-orang berjalan beriringan, berlalu-lalang dari dan ke arah kawah tersebut. Penduduk sekitar biasa menyebut mereka sebagai “Para Penambang Belerang dari Kawah Ijen”. Sungguh pekerjaan yg sangat beresiko. Kita tahu semburan asap belerang sangatlah mematikan, namun karena kondisi finansial yang pas-pasan plus mahalnya perlengkapan modern, membuat pilihan semakin sempit. Pada akhirnya, sehelai kain basah pun mereka gunakan sebagai perisai dari serangan asap beracun yang kerap datang tiba-tiba. “Yo piye maneh Mas (Ya bagaimana lagi Mas)”, kata mereka. Terkadang beberapa orang dari mereka beruntung bisa mendapatkan masker modern secara cuma-cuma dari para Turis asing yg berbaik hati. Berjalan puluhan kilo naik turun kawah dengan beban berat dipundak pun menjadi rutinitas sehari-hari mereka. Tidak sedikit dari mereka yang ‘menyerah’, bukan karena keengganan mereka tuk bekerja, namun karena kondisi fisik (i.e tangan, kaki dan pundak, red) mereka yang tidak lagi prima. Bagi anak dan istri, mereka adalah pahlawan. Melalui kucuran keringatnya lah dapur mereka terus berasap. Itulah realita kehidupan Para Pemburu Belerang dari Kawah Ijen..

Diceritakan pula bagaimana beratnya perjuangan Para Pencari Kayu Bakar. Memanjat pohon-pohon hutan yang tinggi lagi licin guna mencari dahan-dahan kayu kering, menggunakan perlengkapan dan peralatan seadanya. Berjalan puluhan kilo, naik turun bukit mengayuh sepeda dengan membawa bertumpuk-tumpuk kayu bakar kering di keranjangnya, melintasi jalanan besar yang dipadati oleh puluhan kendaraan umum yang melaju cepat di sisi kanannya, kondisi yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan keselamatannya. Dikisahkan salah satu dari mereka lumpuh permanen, sebagian besar tubuhnya tergulai lemas tidak mampu ia gerakan lagi, padahal usianya masih cukup muda. Ketika orang-orang seusianya begitu gembira menikmati masa keemasannya, ia hanya bisa duduk dan berbaring. Itulah realita kehidupan Para Pemburu Kayu Hutan dari Jawa tengah..

Kumuh namun berwajah teduh, itulah sosok Harso, 38th. Seorang bapak dengan 3 anak (anak sulungnya menderita kelainan mental, red), tak kenal lelah mencari barang ‘berharga’ di tumpukan limbah rumah tangga jauh di kota sebelah. Dia berujar, “Mudah-mudahan Bapak Presiden melihat dan memperhatikan kondisi orang-orang seperti kami, dan memikirkan solusi terbaik guna memperbaiki kehidupan kami”. Yang ia katakan bukanlah ekspresi mengemis, mengiba apalagi menggantungkan diri terhadap apa yang ada di tangan-tangan manusia dan penguasa, namun justru mendoakan dan mengingatkan umara’ agar selalu amanah dalam menjalankan kewajibannya i.e senantiasa memperhatikan kehidupan rakyatnya. Diceritakan bahwa terkadang ia hanya mampu menjual hasil pulungannya dengan uang yang setara dengan ‘kurang dari satu kilo’ beras. Tak jarang pula ia dan istrinya hanya makan nasi saja tanpa lauk, karena seluruh bagiannya ia berikan kepada anak-anaknya. Itulah kisah Harso, seorang Pemulung paruh baya asal Solo, Jawa Tengah..

Kecil pendapatan mereka, namun besar hati mereka. Beresiko pekerjaan mereka, namun qana'ah jiwa mereka. Jauh jarak yang harus mereka tempuh, namun pendek angan-angannya. Mereka semua berharap kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala, “Mudah-mudahan kami bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik agar kami mampu menyekolahkan anak-anak kami setinggi tingginya”. Sederhana jawaban mereka ketika ditanya mengapa, “Agar mereka (i.e anak-anak kami, red) tidak mengikuti jejak-jejak kami”. Wallaahu a'lam....

By; Old Nakula



0 Respones to "Realita Kehidupan Rakyat Jelata"

Posting Komentar

 

Entri Populer

Recent Comments

Blog Statistic

Return to top of page Copyright © 2007 | Old Nakula